Minggu, 07 Desember 2014

KEKUASAAN DAN POLITIK DALAM ORGANISASI

BAB 10 KEKUASAAN DAN POLITIK DALAM ORGANISASI
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Legitimasi Kekuasaan
Dalam pemerintahan mempunya makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan untuk memerintahkan sebuah hukuman mati.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompok-kelompok kecil (kewenangan kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).
Jenis-Jenis Kekuasaan Berdasarkan Sumbernya
Sumber kekuasaan biasanya dibagi menjadi dua kelompok besar (Robbins dan Judge, 2007), yaitu:
1.      Sumber kekuasaan antar individu (interpersonal sources of power).
a)       Kekuasaan Formal (Formal Power) adalah kekuasaan yang didasarkan pada posisi  individual dalam suatu organisasi. Kekuasaan ini dapat berasal dari:
-   Kemampuan untuk memaksa (coercive power)
Kekuasaan ini timbul pada diri seseorang karena ia memiliki kemampuan untuk memberikan hukuman (akibat negatif) atau meniadakan kejadian yang positif terhadap orang lain. Pada suatu organisasi, biasanya seseorang tunduk pada atasannya karena takut dipecat, atau diturunkan dari jabatannya.
-   Kemampuan untuk memberi imbalan (reward power)
Kekuasaan ini timbul pada diri seseorang karena ia memiliki kemampuan untuk
mengendalikan sumber-daya yang dapat mempengaruhi orang lain, misalnya:
ia dapat menaikkan jabatan, memberikan bonus, menaikkan gaji, atau hal-hal
positif lainnya.
-   Kekuatan formal (legitimate power)
Kekuasaan ini timbul pada diri seseorang karena ia memiliki posisi sebagai pejabat pada struktur organisasi formal. Orang ini memiliki kekuasaan resmi untuk mengendalikan dan menggunakan sumber-daya yang ada dalam organisasi.
b)      Kekuasaan Personal (Personal Power) adalah kekuasaan yang berasal dari   karakteristik unik yang dimiliki seorang individu. Kekuasaan ini dapat berasal dari:
- Kekuasaan karena dianggap ahli (Expert Power)
Kekuasaan ini timbul pada diri seseorang karena ia memiliki keahlian, ketrampilan atau pengetahuan khusus dalam bidangnya.
- Kekuasaan karena dijadikan contoh (Referent Power)
Kekuasaan ini timbul pada diri seseorang karena ia memiliki sumber-daya, kepribadian yang menarik, atau karisma tertentu.
Sifat Kekuasaan
Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Kekuasaan dapat dikatakan melekat pada jabatan ataupun pada diri orang tersebut, penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Position Power, kekuasaan yang melekat pada posisi seseorang dalam sebuah organisasi.
2.      Personal Power, kekuasaan yang berada pada pribadi orang tersebut sebagai hubungan sosialnya.
French & Raven mengatakan bahwa ada lima jenis kekuasaan:
1. Kekuasaan memberi penghargaan.
2. Kekuasaan yang memaksa
3. Kekuasaan yang sah.
4. Kekuasaan memberi referensi.
5. Kekuasaan ahli Sumber kekuasaan bila dikaitkan dg kegunaan, maka sbb:
Militer & Angkatan bersenjata  utk mengendalikan tanah, buruh, kekayaan Alam untuk     mengendalikan kekerasan dan kriminal.
Definisi Kekuasaan Dalam Organisasi
Gilbert W. Fairholm mendefinisikan kekuasaan sebagai “... kemampuan individu untuk mencapai tujuannya saat berhubungan dengan orang lain, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan mereka.” Fairholm lalu merinci sejumlah gagasan penting dalam penggunaan kekuasaan secara sistematik dengan menakankan bahwa kapasitas personal-lah yang membuat pengguna kekuasaan bisa melakukan persaingan dengan orang lain.
Kekuasaan adalah gagasan politik yang berkisar pada sejumlah karakteristik. Karakteristik tersebut mengelaborasi kekuasaan selaku alat yang digunakan seseorang, yaitu pemimpin (juga pengikut) gunakan dalam hubungan interpersonalnya. Karakter kekuasaan, menurut Fairholm adalah:
1.      Kekuasaan bersifat sengaja, karena meliputi kehendak, bukan sekadar tindakan acak;
2.      Kekuasaan adalah alat (instrumen), ia adalah alat guna mencapai tujuan;
3.      Kekuasaan bersifat terbatas, ia diukur dan diperbandingkan di aneka situasi atau dideteksi kemunculannya;
4.      Kekuasaan melibatkan kebergantungan, terdapat kebebasan atau faktor kebergantungan-ketidakbergantungan yang melekat pada penggunaan kekuasaan.
5.      Kekuasaan adalah gagasan bertindak, ia bersifat samar dan tidak selalu dimiliki;
6.      Kekuasaan ditentukan dalam istilah hasil, hasil menentukan kekuasaan yang kita miliki;
7.      Kekuasaan bersifat situasional, taktik kekuasaan tertentu efektif di suatu hubungan tertentu, bukan seluruh hubungan; dan
8.      Kekuasaan didasarkan pada oposisi atau perbedaan, partai harus berbeda sebelum mereka bisa menggunakan kekuasaan-nya.
Esensi kekuasaan adalah kendali atas perilaku orang lain. Kekuasaan adalah kekuatan yang kita gunakan agar sesuatu hal terjadi dengan cara disengaja, di mana influence (pengaruh) adalah apa yang kita gunakan saat kita menggunakan kekuasaan. Seorang manajer membiakkan kekuasaan dari aneka sumber, baik dari organisasi yang disebut sebagai “power position” ataupun dari personalitasnya sendiri yang disebut “personal power.”
Sumber Kekuasaan
Dari manakah sumber-sumber kekuasaan? Para penulis berbeda pendapat – kendati punya banyak kesamaan satu sama lain – seputar sumber kekuasaan di dalam organisasi. Ada baiknya kita tinjau pendapat Gareth Morgan tentang sumber kekuasaan dalam organisasi, yang menurutnya berasal dari:
1.      Otoritas formal;
2.      Kendali sumber daya langka;
3.      Penggunaan struktur, aturan, dan kebijakan organisasi;
4.      Kendali proses pembuatan keputusan;
5.      Kendali pengetahuan dan informasi’
6.      Kendali batasan (boundary) organisasi;
7.      Kendali teknologi;
8.      Aliansi interpersonal, jaringan, dan kendali atas “organisasi informal”;
9.      Simbolisme dan manajemen makna (filosofi organisasi);
10.  Gender dan manajemen hubungan berbasis gender;
11.  Faktor-faktor struktural yang menentukan tahap-tahap tindakan; dan
12.  Kekuasaan yang telah seorang miliki.
Kekuasaan Bersifat Positif
Definisinya sendiri adalah Kemampuan yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
Kekuasaan Bersifat Negatif
Merupakan sifat atau watak dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental. Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.
Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
POLITIK
Definisi Politik dan Politik Organisasi
Politik tidak sama dengan kekuasaan dan pengaruh (influence). Ketiganya adalah konsep berbeda dan berdiri sendiri. Power atau kekuasaan mengekspresikan kapasitas individu untuk secara sengaja menimbulkan dampak pada orang lain. Pengaruh (influence) adalah kemampuan membuat orang menuruti kehendak pemberi pengaruh. Politik mendasarkan diri pada kekuasaan (kekuasaan), dan kekuasaan ini tidak terdistribusi secara merata di dalam organisasi.
Sebab itu, siapa pun yang menggenggam kekuasaan di dalam organisasi akan menggunakannya guna mempengaruhi (to influence) orang lain. Dengan kata lain, kekuasaan adalah sumber daya sosial yang ditujukan demi melancarkan pengaruh, yaitu proses sosial, dan keduanya merupakan unsur politik.
Politik dapat didefinisikan sebagai kegiatan dimana individu atau kelompok terlibat sedemikian rupa guna memperoleh dan menggunakan kekuasaan untuk mencapai kepentingannya sendiri. Kendati politik punya kans merusak, politik sesungguhnya tidaklah buruk. Faktanya, kendatipun para manajer dan pekerja kerap menolak bahwa politik mempengaruhi kegiatan organisasi, sebuah riset mengindikasikan bahwa politik kantor muncul dan ia punya dampak terukur dalam perilaku organisasi.
Definisi politik diajukan oleh Richard L. Daft, yang menurutnya adalah “..penggunaan kekuasaan guna mempengaruhi keputusan dalam rangka memperoleh hasil yang diharapkan." Penggunaan kekuasaan dan pengaruh membawa pada 2 cara mendefinisikan politik. Pertama, selaku perilaku melayani diri sendiri. Kedua, sebagai proses pembuatan keputusan organisasi yang sifatnya alamiah.
Dalam definisi kedua, politik dilihat sebagai proses organisasi yang alamiah demi menyelesaikan perbedaan di antara kelompok kepentingan di dalam organisasi. Politik adalah proses tawar-menawar dan negosiasi yang digunakan untuk mengatasi konflik dan perbedaan pendapat. Dalam cara pandang ini, politik sama dengan pembangunan koalisi dalam proses-proses pembuatan keputusan. Politik bersifat netral dan tidak perlu membahayakan organisasi.
Politik adalah penggunaan power (kekuasaan) agar sesuatu tercapai. Ketidakmenentuan dan konflik adalah alamiah dan tidak terelakkan. Politik adalah mekanisme guna mencapai persetujuan. Politik melibatkan diskusi-diskusi informal yang memungkinkan orang mencapai kesepakatan dan membuat keputusan yang mungkin bisa menyelesaikan masalah ataupun tidak.
Organisasi Politik
Organisasi politik adalah organisasi atau kelompok yang bergerak atau berkepentingan atau terlibat dalam proses politik dan dalam ilmu kenegaraan, secara aktif berperan dalam menentukan nasib bangsa tersebut. Organisasi politik dapat mencakup berbagai jenis organisasi seperti kelompok advokasi yang melobi perubahan kepada politisi, lembaga think tank yang mengajukan alternatif kebijakan, partai politik yang mengajukan kandidat pada pemilihan umum, dan kelompok teroris yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam pengertian yang lebih luas, suatu organisasi politik dapat pula dianggap sebagai suatu sistem politik jika memiliki sistem pemerintahan yang lengkap. Organisasi politik merupakan bagian dari suatu kesatuan yang berkepentingan dalam pembentukan tatanan sosial pada suatu wilayah tertentu oleh pemerintahan yang sah. Organisasi ini juga dapat menciptakan suatu bentuk struktur untuk diikuti.
Pengertian kekuasaan dalam organisasi serta pengertian politik dalam organisasi dalam perbincangan seputar organisasi dan manajemen adalah perkembangan paling mutakhir dalam studi-studi organisasi dan manajemen. Tokoh-tokoh seperti James March dan Jeffrey Pfeiffer bertanggung jawab dalam mempopulerkan studi kekuasaan dan politik di dalam organisasi. Tulisan ini akan membahas masalah kekuasaan dan politik di dalam organisasi, bukan kekuasaan dan politik pada struktur kenegaraan yang biasa kita sebut “politik” sehari-hari. Mungkin saja akan banyak konsep yang serupa karena pinjam-meminjam konsep antarbidang ilmu adalah umum.
Politik Dalam Organisasi
Hingga saat ini, kita telah menjelajahi konsep kekuasaan (power) dalam organisasi. Tibalah kini saatnya kita mengeksplorasi aspek politik di dalam organisasi. Politik dalam organisasi adalah sesuatu yang sulit dihindarkan tatkala organisasi terdiri atas 2 orang atau lebih. Terdapat banyak kepentingan di dalam organisasi, langkanya sumber daya, dan tarik-menarik gagasan. Seluruhnya membuat politik dalam organisasi menjadi konsekuensi logis aktivitas organisasi.
Bagi Robert Morgan, organisasi serupa dengan sistem politik. Politik di dalam organisasi (organizational politics) dengan memfokuskan perhatian pada tiga konsep yaitu interest (kepentingan), konflik, dan kekuasaan (power). Interest (kepentingan) adalah kecenderungan meraih sasaran, nilai, kehendak, harapan, dan kecenderungan lainnya.
Politik keorganisasian muncul tatkala orang berpikir secara berbeda dan bertindak berbeda.Perbedaan ini menciptakan ketegangan (tension) yang harus diselesaikan lewat cara-cara politik. Cara-cara politik tersebut adalah: 
1.                   Autocratically (secara otokratik) – > “kita lakukan dengan cara ini.”
2.                   Bureaucratically (secara birokratis) – > “kita disarankan melakukan cara ini.”
3.                   Technocratically (secara teknokratis) – > “yang terbaik dengan cara ini.”
4.                   Democratically (secara demokratis) – > “bagaimana kita melakukannya.”
Perbedaan Pemimpin Formal dan Pemimpin Informal
Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Leadership is the activity of influencing exercised to strives willingly for group objective ( George R. Tery: 1977 ). Jadi dengan kata lain kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan yang dimiliki seseorang. Dapat dijabarkan bahwasannya perbedaan antara Kepemimpinan Formal dan Kepemimpinan Non Formal.
1.      Kepemimpinan Formal adalah jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya meliputi proses mempengaruhi orang lain dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Dimana kepemimpinan Formal dalam jabatannya diperoleh suatu usaha  tertentu dalam pencapaiannya.
2.      Kepemimpinan Non Formal adalah jabatan yang dimiliki seseorang dalam kemampuannya meliputi proses mempengaruhi orang lain  dalam menentukan tujuan tertentu, memotivasi perilaku  pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Dimana Kepemimpinan Non Formal dalam jabatannya diperoleh tanpa suatu usaha tertentu dalam pencapaiannya.
Pemimpin Formal
Walgito ( 2003 : 93 ) mengungkapkan bahwa, dalam kepemimpinan ada pemimpin dan kelompok yang dipimpin. Pada umumnya kelompok dapat dibedakan antara kelompok primer dan kelompok sekunder. Disamping kelompok formal dan kelompok informal, kelompok formal akan dipimpin oleh pemimpin formal yang mempunyai interaksi dalam kelompok sekunder, yaitu lebih bersifat formal, lebih didasarkan atas pertimbangan rasio daripada pertimbangan perasaan, karenanya lebih bersifat objektif.
Pemimpin formal pada umumnya berstatus resmi dan didukung oleh peraturan-peraturan yang tertulis serta keberadaanyya melalui proses pemilihan dan pengangkatan secara resmi. Pemimpin formal adalah orang yang menjadi pemimpin karena legalitasnya.
Anonim (2006), pemimpin formal adalah pemimpin yang secara resmi diberi wewenang/ kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan tertentu, dan dia mempertanggungjawabkan kekuasaan/wewenangnya tersebut pada atasannya. Pemimpin formal pada umumnya berada pada lembaga formal juga, dan keputusan pengangkatannya sebagai pemimpin berdasarkan surat keputusan yang formal. Seorang pemimpin formal bisa saja hanyalah seorang kepala yang memiliki wewenang sah berdasarkan ketentuan formal untuk mengelola anggotanya, atau jika dalam organisasi memiliki wewenang untuk membawahi dan memberi perintah pada bawahan-bawahannya.
Seorang kepala adalah juga seorang pemimpin apabila dia diterima secara ikhlas oleh para anggotanya dan dia mampu mempengaruhi para anggota sehingga mereka dengan pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti dan mentaati pemimpin tersebut. Seorang pemimpin formal biasanya dinilai oleh bawahannya/masyarakatnya berdasarkan hasil-hasil yang dicapainya (prestasi). Dengan demikian pengakuan bagi seorang pemimpin formal oleh bawahannya/ masyarakatnya disamping ditentukan oleh jiwa kepemimpinan (leadership) juga oleh prestasi yang mana hal ini berkaitan dengan pengetahuannya tentang kebutuhan masyarakat dimana-dia-ditempatkan.
            Mardikanto (1991 : 205), pemimpin formal adalah pemimpin yang di samping memperoleh pengakuan berdasarkan kedudukannya, juga memang memiliki kemampuan pribadi untuk memimpin (kepemimpinan) yang andal. Selanjutnya Mardikanto (1991 : 206) menambahkan bahwa, dari segi organisasi seorang pimpin formal lebih efektif mengarah kepada kepemimpinan organisasi pamrih, yaitu organisasi yang bentuk keterlibatan anggotanya lebih didasarkan pada pertimbangan kalkulatif (untung-rugi/manfaat-korbanan yang harus dikeluarkan dan yang akan dapat-diterimanya).
Pemimpin Informal
Darmaputera (2004), pemimpin informal tidak menjadi pemimpin karena faktor legalitas, tapi terutama karena faktor ”legitimitas”. Artinya, walaupun tak ada kongres atau muktamar yang menetapkan demikian, tapi rakyat dan umat dengan spontan menerima dan memperlakukan yang bersangkutan sebagai pemimpin mereka. pemimpin informal itu ditetapkan oleh umat bukan dengan surat suara, tapi dengan kata hati. (suara batin). Ikatan antar mereka tidak diatur secara resmi, tapi lahir secara spontan karena ada rasa hormat dan cinta yang tidak dipaksa-paksa.
Anonim (2006), pemimpin informal adalah pemimpin yang tidak diangkat secara resmi berdasarkan surat keputusan tertentu. Dia memperoleh kekuasaan / wewenang karena pengaruhnya terhadap kelompok. Apabila pemimpin formal dapat memperoleh pengaruhnya melalui prestasi, maka pemimpin informal memperoleh pengaruh berdasarkan ikatan-ikatan psikologis. Tidak ada ukuran obyektif tentang bagaimana seorang pemimpin informal dijadikan pemimpin.
Walgito (2003 : 93) menyatakan bahwa, pemimpin informal adalah pemimpin yang mempunyai batas-batas tertentu dalam kepemimpinanya. Pemimpin informal adalah orang yang memimpin kelompok informal yang statusnya tidak resmi, pada umumnya tidak didukung oleh peraturan-pertaturan yang tertulis seperti pada kelompok formal.
Sarwono (2005 : 44 & 46), pemimpin informal dapat dikatakan sebagai ciri kepribadian yang menyebabkan timbulnya kewibawaan pribadi dari pemimpin dan merupakan bakat/sifat/karismatik yang khas terdapat dalam diri pemimpin yang dapat diwujudkan dalam perilakukepemimpinan.
Perbedaan Kepemimpinan dengan Kekuasaan
Konsep kepemimpinan dan kekuasaan mempunyai hubungan yang erat. Bahkan seringkali orang menganggap bahwa kepemimpinan adalah identik dengan kekuasaan. Seorang pemimpin dapat menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk mencapai tujuannya, namun pada dasarnya kepemimpinan dan kekuasaan memiliki perbedaan. Perbedaannya terletak pada (Robbins dan Judge, 2007):
1.      Kesesuaian Tujuan
Kekuasaan tidak membutuhkan kesesuaian tujuan, hanya ketergantungan, sedangkan kepemimpinan membutuhkan kesesuaian tujuan antara pemimpin dengan orang yang dipimpinnya.
2.      Arah Dari Pengaruh
Kepemimpinan berfokus pada pengaruh atasan/pemimpin terhadap bawahannya (downward influence), dan meminimalkan pentingnya bentuk pengaruh ke samping dan ke atas (lateral and upward influence). Sedangkan kekuasaan selain berfokus pada pengaruh terhadap bawahan, juga berfokus pada pengaruh terhadap atasan maupun kepada sesama teman yang berada pada tingkat yang sama.
3.      Cara Implementasinya
Kepemimpinan lebih menekankan pada cara atau gaya kepemimpinan yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan kekuasaan, lebih memfokuskan diri pada taktik-taktik untuk mendapatkan kesepakatan.
4.      Pemilik Kekuasaan
Kepemimpinan lebih merupakan kekuasaan yang dimiliki secara individual, sedangkan kekuasaan, bukan hanya dapat dimiliki oleh individu tertentu, namun juga dapat dimiliki oleh beberapa atau sekelompok orang.
KONFLIK
Konflik Organisasi
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.
Konflik adalah suatu proses antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya. Konflik itu sendiri merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat maupun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggota atau antar kelompok masyarakat lainnya, konflik itu akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik yang dapat terkontrol akan menghasilkan integrasi yang baik, namun sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan suatu konflik.
Pengertian konflik organisasi menurut Para Ahli :
ü  Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah:
“ Conflict is a situation which two or more people disagree over issues of organisational substance and/or experience some emotional antagonism with one another “
yang memiliki arti bahwa konflik adalah suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
ü  Menurut Stoner, Konflik organisasi adalah mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
ü  Konflik organisasi menurut Robbins (1996) adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Pandangan ini dibagi menjadi 3 bagian menurut Robbin yaitu :
1.      Pandangan tradisional
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik ini suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan diantara orang-orang dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi para karyawan tersebut.
2.      Pandangan kepada hubungan manusia
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai sesuatu peristiwa yang wajar terjadi didalam suatu kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena didalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi tersebut.
3.      Pandangan interaksionis
Pandangan ini menyatakan bahwa mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya suatu konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif dan tidak inovatif. Oleh karena itu, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat dan kreatif.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa konflik merupakan suatu masalah yang timbul akibat ketidakcocokan ataupun akibat perbedaan pendapat dalam suatu organisasi.
Sumber-Sumber Konflik Organisasi
a.      Konflik ini bisa berasal dari dalam diri
Penyebab dari dalam bisa bersumber dari sifat-sifat atau ciri-ciri kepribadian dari orang yang bersangkutan. Hal ini terjadi karena seseorang diperhadapkan pada dua tujuan atau karena harus membuat keputusan untuk memilih alternative yang terbaik.
b.      Konflik yang bersumber dari luar.
Misalnya, tuntutan lingkungan kerja yang baru, kehilangan kebebasan pribadi, erosi kontak wajah, terus-menerus dipaksa mempelajari keterampilan kerja baru karena tuntutan pekerjaan, dan terlewatkan dalam promosi jabatan.
c.         Diferensiasi
o    Perbedaan dalam orientasi fungsional
Perbedaan kekuasaan dan status. Biasanya terjadi karena suatu departemen merasa lebih penting atau memiliki rasa over value ketimbang departemen lainnya. Departemen yang lainnya pasti akan merasa dilecehkan.
d.         Hubungan Tugas
o   Kewenangan yang Tumpang Tindih
Kewenangan yang tumpang tindih menyebabkan kerancuan dalam mekanisme organisasi. Terutama anggota organisasi yang terbiasa dengan konsep unity of command, akan merupakan kebinggungan tersendiri ketika harus melapor kepada dua atasan sekaligus. Ketidakjelasan atau ambiguitas wewenang dan tanggung jawab tersebut memicu adanya konflik dan kekeliruan.
o   Saling ketergantungan tugas dalam kegiatan-kegiatan kerja
Saling ketergantungan tugas dalam kegiatan kerja dapat memunculkan beban kerja anggota organisasi yang mengakibatkan terganggunya spesialisasi fungsional.
o   Sistem Evaluasi yang tidak kompatibel sesuai
Sistem evaluasi kerja yang tidak sesuai dengan mekanisme orgnaisasi mengakibatkan timbulnya pertanyaan pimpinan tentang hasil kerja organisasi.
o   Sistem komunikasi dan informasi yang terganggu
Kadang, terjadi misunderstanding di kalangan pelaku organisasi karena informasi yang diterima kurang jelas atau bertentangan dengan tujuan yang sebenarnya.
e.         Kelangkaan Sumber Daya
Konflik yang disebabkan oleh pembagian sumber daya (resource interdependence). Antar unit kerja bersaing karena untuk mendapatkan sumber daya yang lebih (personil, dana, material, peralatan, ruangan, fasilitas computer dan lainnya).
f.          Perbedaan nilai-nilai atau presepsi
g.         Kemandirian organisasional
Tahapan Pondy
Louis R. Pondy ( dalam George & Jones, 1999:660 ) merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase secara berurutan, yaitu : Laten conflict, Perceived Conflict, Felt Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict aftermath.
o   Tahap I, Konflik yang terpendam (Laten). Konflik ini merupakan bibit konflik yang bisa terjadi dalam interaksi individu ataupun kelompok dalam organisasi, oleh karena set up organisasi dan perbedaan konsepsi, namun masih dibawah permukaan. Konflik ini berpotensi untuk sewaktu-waktu muncul ke permukaan. Konflik laten bersifat mengejutkan, karena datang tiba-tiba dan biasanya sangat berdampak. Konfli laten ini berlaku seperti api di dalam sekam, tak tampak adanya di permukaan, tetapi sangat bermasalah secara tersembunyi di dalam. Gejalanya sulit dideteksi, karena bersifat tertutup, justru konflik laten sangat berbahaya. Sama halnya sebuah kekuatan yang disimpan, tentu akan menjadi semakin kuat dan berdaya tinggi bila sewaktu-waktu meledak. Bahaya laten yang tidak terdeteksi, dan bisa ditengarai, akan menjadi konflik laten yang merusak. Dalam masyarakat yang tertindas misalnya, ketertundukan yang bukan karena kepatuhan dapat menjadi bahaya laten yang terbalik menyerang pada waktunya. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini seperti : Saling ketergantungan kerja, Perbedaan tujuan dan prioritas, factor birokrasi, Perbedaan status, sumber daya yang terbatas.
o   Tahap II, Konflik yang terpersepsi. Fase ini dimulai ketika para actor yang terlibat mulai mengkonsepsi situasi-situasi konflik termasuk cara mereka memandang, menentukan pentingnya isu-isu, membuat asumsi-asumsi terhadap motif-motif dan posisi kelompok lawan.
o   Tahap III, Konflik yang terasa. Fase ini dimulai ketika para individu atau kelompok yang terlibat menyadari konflik dan merasakan pengalaman-pengalaman yang bersifat emosi, seperti kemarahan, frustrasi, ketakutan, dan kegelisahan yang melukai perasaan.
o   Tahap IV, Konflik yang termanifestasi. Pada fase ini salah satu pihak memutuskan bereaksi menghadapi kelompok dan sama-sama mencoba saling menyakiti dan menggagalkan tujuan lawan. Misalnya agresi terbuka, demonstrasi, sabotase, pemecatan, pemogokan dan sebagainya.
o   Tahap V, Konflik sesudah penyelesaian. Fase ini adalah fase sesudah konflik diolah. Bila konflik dapat diselesaikan dengan baik hasilnya berpengaruh baik pada organisasi (fungsional) atau sebaliknya ( disfungsional ).
Berdasarkan model di atas maka dapat diidentifikasikan lima macam sumber-sumber konflik potensial menurut Pondy. Identifikasi ini berguna untuk menentukan dengan cara apa suatu konflik dapat diselesaikan dalam suatu organisasi.
o   Pertama, Interdependensi : Mengingat bahwa aktivitas-aktivitas yang berbeda bersifat interdependen, maka hasrat subunit-subunit untuk mencapai otonomi menyebabkan timbulnya konflik antara kelompok-kelompok. Potensi konflik pada keadaan ini sangat tinggi. Saling ketergantungan dikelompokkan dalam : (1) saling ketergantungan yang dikelompokkan, tidak memerlukan adanya interaksi diantara kelompok sebab setiap kelompok, bertindak secara terpisah. (2) Saling ketergantungan berurutan, memerlukan satu kelompok sebelum kelompok lain menyelesaikan tugasnya. (3) Saling ketergantungan timbal balik, yaitu memerlukan hasil dari setiap kelompok untuk dijadikan masukan bagi kelompok lain dalam organisasi.
o   Kedua, Perbedaan dalam tujuan dan prioritas : Masing-masing subunit mengejar tujuan-tujuan yang berbeda yang sering tidak konsisten atau tidak sesuai sehingga muncul potensi konflik.
o   Ketiga, factor-faktor birokratik : Cara dengan apa hubungan-hubungan tugas berkembang di dalam organisasi dimana terjadi ketidakharmonisan status antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam birokrasi organisasi yang bersangkutan
o   Keempat, criteria kinerja yang tidak sesuai : Konflik terjadi karena cara organisasi melaksanakan monitoring, evaluasi dan memberikan imbalan-imbalan yang berbeda kepada masing-masing subunit.
o   Kelima, Persaingan mencapai sumber daya yang langka : Sumber daya  yang langka menyebabkan setiap unit bertarung mendapatkan lebih banyak bagian dari modal yang dialokasikan kepada mereka. Bila sumber daya harus dibagikan, ketergantungan bersama meningkat. Kelompok-kelompok berupaya untuk mengurangi tekanan pada dirinya dengan memperoleh pengendalian atas pasokan sumber yang kritis, jadi mengurangi ketidak pastian dalam  memperoleh pasokan ini dan perlu adanya dari usaha kelompok untuk meningkatkan sumber daya. Yang sering terjadi situasi pada situasi sumber daya yang terbatas adalah persaingan kalah menang yang dapat menimbulkan konflik atau kelompok menolak untuk bekerjasama.
Teknik Manajemen Konflik
1.      Teknik tingkat individu
·         Membawa bantuan dari luar untuk memberikan saran dan nasihat
·         Memberikan pendidikan dan pelatihan sensitivitas
·         Pindah orang di sekitar
2.      Teknik tingkat grup
·         Secara fisik memisahkan kelompok kerja
·         Merevisi aturan dan prosedur operasi standar
·         Memberikan tujuan bersama
·         Mempekerjakan negosiasi
3.      Teknik organisasi tingkat
·         Memodifikasi diferensiasi dan integrasi
·         Mempekerjakan mekanisme mengintegrasikan
·         Menciptakan visi bersama
Konflik dapat dicegah atau dikelola dengan:
1.      Disiplin: Mempertahankan disiplin dapat digunakan  untuk mengelola dan mencegah konflik.  Manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan-peraturan yang ada dalam organisasi. Jika belum jelas, mereka harus mencari bantuan untuk memahaminya.
2.      Pertimbangan Pengalaman dalam Tahapan Kehidupan: Konflik dapat dikelola dengan mendukung perawat untuk mencapai tujuan sesuai dengan pengalaman dan tahapan hidupnya.  Misalnya; Perawat junior yang berprestasi  dapat  dipromosikan untuk mengikuti pendidikan kejenjang  yang lebih tinggi, sedangkan bagi perawat senior yang berprestasi dapat dipromosikan  untuk menduduki  jabatan yang lebih tinggi.
3.      Komunikasi: Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif. Suatu upaya yang dapat dilakukan manajer untuk  menghindari konflik adalah dengan menerapkan  komunikasi yang efektif dalam kegitan sehari-hari  yang akhirnya dapat dijadikan sebagai  satu cara hidup.
4.      Mendengarkan secara aktif: Mendengarkan secara aktif merupakan hal penting untuk mengelola konflik. Untuk memastikan bahwa penerimaan para manajer perawat telah memiliki pemahaman yang benar, mereka dapat merumuskan kembali permasalahan para  pegawai sebagai tanda bahwa mereka telah mendengarkan.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik :
a.      Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang – kalah (win-win solution) akan terjadi disini. Pihak yang  kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan –bawahan, dimana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
b.      Menghindari konflik 
Tindakan  ini  dilakukan  jika  salah  satu  pihak  menghindari  dari  situsasi tersebut secara  fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini  hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menag kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali,ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
c.       Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut. Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini.
d.      Kompromi atau Negosiasi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama –sama penting dan hubungan baik menjadi yang uatama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution)
e.       Berkolaborasi atau Bekerja sama
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama. Pemecahan sama-sama   menang  dimana individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan  saling memperhatikan satu sama lainnya.
KESIMPULAN :
 Jika kita ingin semua berjalan dalam kelompok atau organisasi, maka kita akan terbantu bila mempunyai kekuasaan. sebagai manajer yang ingin memaksimalkan kekuasaan, tentu akan meningkatkan ketergantungan orang lain pada manajer. Sedikit karyawan yang senang bila tidak berkuasa dalam pekerjaan dan organisasi mereka. telah dikemukakan, misalnya bahwa ketika orang-orang dalam organisasi suka asal beda, argumentative, dan temperamental maka itu mungkin karena mereka berada dalam posisi tidak berkuasa, dimana harapan kinerja yang di isyaratkan ke mereka melampui sumber daya dan kemampuan mereka. Terdapat bukti bahwa orang-orang akan memberikan tanggapan secara berlainan terhadap berbagai dasar kekuasaan. Kekuasaan pakar dan rujukan(acuan) berasal dari ciri pribadi individu. sebaliknya kekuasaan paksaan, kekuasaan imbalan dan kekuasaan yang sah pada hakikatnya diturunkan oleh organisasi. karena orang cenderung lebih menerima baik dan berkomitmen pada individu yang mereka kagumi atau yang pengetahuannya mereka hargai (bukannya seseorang yang mengandalkan  posisinya untuk memberi imbalan atau memaksa mereka), penggunaan yang efektif atas kekuasaan pakar dan acuan seharusnya menyebabkan kinerja, komitmen, dan kepuasan karyawan yang lebih tinggi. tampak bahwa kompetensi menawarkan daya tarik yang luas, dan penggunaannya sebagai dasar kekuasaan menghasilkan kinerja yang tinggi pada anggota-anggota kelompok. Orang yang cerdik berpolitik diharapkan mendapatkan penilaian kinerja yang lebih tinggi dan oleh karena itu, kenaikan gaji yang lebih besar dan lebih banyak  promosi dibanding mereka yang canggung berpolitik. Mereka yang cerdik berpolitik  juga cenderung memperlihatkan kepuasan kerja yang lebih tinggi. bagi karyawan yang keterampilan politiknya sedang atau yang tidak ingin bermain politik, persepsi tentang politik organisasi umumnya berhubungan dengan lebih rendahnya kepuasan kerja dan kinarja yang dilaporkan sendiri dan meningkatnya kecemasan, serta  pengunduran diri karyawan.

2 komentar: